KERJASAMA LAHAN PERTANIAN
MAKALAH
Disusun Untuk
Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Pendidikan
Agama Islam

KELAS I B
Oleh:
1. ATEP 145009048
2. ELVA ELVIANA JULIAN 145009044
3. NUNI YUSNIDAR
145009043
4. M WILDAN M
145009077
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SILIWANGI
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Alam
semesta ini merupakan titipan dari Allah swt. untuk dijaga dan dilestarikan
oleh manusia. Dalam melestarikan alam ini terkait dengan masalah hubungan
manusia dengan manusia lain, karena sudah merupakan fitrahnya bahwa manusia
membutuhkan manusia lain dalam menjalani kehidupan di Dunia ini, sehingga
aturan mengenai hubungan manusia dengan manusia lain pun sudah tercntum dalam
Al-Quran dan AL-Hadits, maka dari itu wajib hukumnya bagi umat islam untuk mempelajari
dan memahami tentang bagaimana Habluminanas menurut ajaran Islam yang
sebenarnya.
Seiring dengan kewajiban kita
sebagai umat Islam dalam mempelajari hubungan sesama manusia, maka dalam
makalah ini penyusun memberikan sedikit gambaran mengenai bagaimana menjalin
kerja sama dalam bidang Pertanian menurut ajaran Islam dalam bentuk sebuah
makalah dengan judul “Kerjasama Lahan Pertnian”.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah diatas, penyusun merumuskan rumusan masalah sebagai berikut.
1.
Apakah
pengertian Muzar’ah ?
2.
Apakah
pengertian Mukhabarah ?
3.
Apakah
pengertian Musaqah?
C.
Tujuan Makalah
Sejalan dengan rumusan masalah diatas,
makalah ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui:
1.
Mengetahui
pengertian Muzar’ah dan beserta ketentuannya;
2.
Mengetahui
pengertian Mukhabarah dan beserta ketentuannya;
3.
Mengetahui
pengertian Musaqah dan beserta ketentuannya.
D.
Kegunaan Makalah
Makalah ini disusun
untuk memberikan manfaat sesuai dengan materi yang disampaikan, secara komplek
makalah ini diharapkan bisa memberikan manfaat bagi:
1.
Penulis,
sebagai wahana penambah pengetahuan dan acuan untuk menyusun makalah
berikutnya;
2.
Pembaca,
sebagai media
informasi dan pembelajaran mengenai peran interaksi sosial.
E.
Prosedur Makalah
Data teoritis dalam
makalah ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi pustaka, artinya
penulis mengambil data melalui kegiatan membaca berbagai kliteratur yang
relevan dengan tema makalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tinjauan Teoritis
1.
Definisi
Muzar’ah
menurut ulama fiqih salaf dimuka, adalah perjanjian kerjasama antara pemilik
lahan pertanian dengan petani penggarap, yang upahnya diambil dari hasil
pertanian yang sedang diusahakan
Menurut buku bank syariah dari teori
ke praktik pengarang M. Syafi’i Antonio; muzar’ah adalah kerja sama pengelolahan
pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan
lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan
imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata: Muzar’ah merupakan asal dari ijarah (mengupah atau menyewa
orang), dikarenakan dalam keduanya masing-masing pihak sama-sama merasakan
hasil yang diperoleh dan menanggung kerugian yang terjadi.
Imam Ibnul Qayyim berkata: Muzar’ah
ini lebih jauh dari kezaliman dan kerugian dari pada ijarah. Karena dalam
ijarah, salah satu pihak sudah pasti mendapatkan keuntungan
Bila dalam kerjasama
bibit disediakan oleh pekerja , maka secara khusus kerjasama ini disebut
mukhabarah demikian menurut ulama syafii perbedaan antara muzaraah dan
mukhabarah.
riwayat bukhari yang menyatakan:
“bahwasanya Rasul Allah SAW
mempekerjakan penduduk khaibar (dalam pertanian) dengan imbalan bagian dari apa
yang dhasilkannya, dalam bentuk tanaman atau buah- Kerjasama muzaraah dan
mukhabarah menrut ulama hukumnya boleh, dasarnya adalah buahan”.
Musaqah hukumnya jaiz (boleh), hal ini
berdasarkan hadits Nabi SAW :
عَنِ ابْنِ عُمَرَرَضِيَ الله ُعَنْهُمَاأَنَّ النَّبِيَّ ص م عَامَلَ أَهْلَ
خَيْبَرَ بِشَرْطٍ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ
ثَمَرٍأَوْزَرْعٍ (متفق عليه)
Dari ibnu Umar ra. “bahwasanya Nabi SAW telah mempekerjakan penduduk
Khaibar dengan syarat akan diberi upah separuh dari hasil tanaman atau
buah-buahan yang keluar dari lahan tersebut” (HR. Muttafaq Alaih).
B.
Pembahasan
1. Muzar’ah
Menurut etimologi,
muzar`ah adalah wazan “mufa’alatun” dari kata “az-zar’a” artinya menumbuhkan.
Al-muzara’ah memiliki arti yaitu al-muzara’ah yang berarti tharhal-zur’ah
(melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal. Sedangkan menurut terminologi
adalah akad kerjasama dalam usaha pertanian dimana pemilik lahan pertanian
menyerahkan lahannya berikut bibit yang diperlukan kepada pekerja tani untuk
diolah, sedangkan hasil yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan
bersama, sperti setengah, sepertiga, atau lebih dari itu.
a. Rukun Muzar’ah
1) Sighat, (ungkapan) ijab dan qabul;
2) Al-aqidain, dua orang pihak yang melakukan
transaksi;
3) Obyek al-musaqah, yang terdiri atas pepohonan
yang berbuah baik berbuahnya dalam bentuk tahunan atau juga setahun sekali,
seperti padi,jagung, dll
4) Ketentuan mengenai pembagian hasil dari
musaqah tersebut;
5) Masa kerja, hendaknya ditentukan lama waktu
yang akan dipekerjakan.
b. Berakhirnya akad muzar’ah
1) Habisnya masa usaha pertanian dengan panen
atau sebelum panen atas permintaan salah satu pihak sebelum panen atau pihak
pekerja jelas-jelas tidak mampu melanjutkan pekerjaannya.
2) Kematian pihak yang mengadakan akad menurut
pendapat abu hanifah, tetapi menurut pendapat madzhab maliki dan syafii muzar’ah
tidak putus dengan kematian salah satu pihak yang berakad.
c. Hikmah Muzara’ah
1) Terwujudnya kerja sama yang saling
menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani penggarap.
2) Meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
3) Tertanggulanginya kemiskinan.
4) Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi
petani yang memiliki kemampuan bertani.
5)
2. Mukhabarah
Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang
lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua,
sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung
orang yang mengerjakan.
Zakat
muzar’ah dan mukhabarah
Zakat
hasil paroan sawah atau ladang ini diwajibkan atas orang yang punya benih, jadi
pada muzar’ah, zakatnya wajib atas petani yang bekerja, karena pada hakekatnya
dialah yang bertanam, yang punya tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya,
sedangkan penghasilan sewaan tidak wajib dikeluarkan zakatnya, sedangkan pada
mukhabarah, zakat diwajibkan atas yang punya tanah karena pada hakekatnya
dialah yang bertanam, petani hanya mengambil upah bekerja. Penghasilan yang
didapat dari upah tidak wajib dibayar zakatnya. Kalau benih dari keduanya, maka
zakat wajib atas keduanya, diambil dari jumlah pendapatan sebelum dibagi.
3. Musaqah
Menurut
bahasa, Musaqah berasal dari kata “As-Saqyu” yang artinya penyiraman. Sedangkan
menurut istilah musaqah adalah kerjasama antara pemilik kebun (tanah) dengan
petani penggarap, yang hasilnya dibagi berdasarkan perjanjian.
a. Rukun-rukun musaqah menurut jumhur ulama ada
lima :
1)
Sighat,
(ungkapan) ijab dan qabul;
2)
Al-aqidain,
dua orang pihak yang melakukan transaksi;
3)
Obyek
al-musaqah, yang terdiri atas pepohonan yang berbuah baik berbuahnya dalam
bentuk tahunan atau juga setahun sekali, seperti padi,jagung, dll
4)
Ketentuan
mengenai pembagian hasil dari musaqah tersebut;
5)
Masa
kerja, hendaknya ditentukan lama waktu yang akan dipekerjakan.
Sedangkan
menurut ulama Hanafiyah yang menjadi rukun dalam musaqah itu hanyalah ijab dari
pemilik tanah perkebunan dan qabul dari petani penggarap, dan pekerjaan dari
pihak petani penggarap.
b. Syarat-syarat musaqah
1) Ahli dalam akad
2) Menjelaskan bagian penggarap
3)
Membebaskan pemilik dari pohon, dengan artian bagian yang akan dimiliki dari
hasil panen merupakan hasil bersama.
4) Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang
melangsungkan akad
5) Sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai
akhir.
c. Hukum Musaqah
1) Hadits
a. Dari Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi SAW. Telah
memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan
perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah –
buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim).
b. Dari Ibnu Umar: ” Bahwa Rasulullah SAW telah
menyerahkan pohon kurma dan tanahnya kepada orang-orang yahudi Khaibar agar
mereka mengerjakannya dari harta mereka, dan Rasulullah SAW mendapatkan
setengah dari buahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)[9]
c. “Bahwa Rasulullah Saw, melakukan kerjasama
perkebunan dengan penduduk Khaibar dengan ketentuan bahwa mereka mendapatkan
sebagian dari hasil kebun atau pertanian itu. (H.R. Muttafaqun ‘alaih)
2) Ijma’
Telah berkata Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain bin
Ali bin Abu thalib r.a bahwa Rasulullah saw. Telah menjadikan penduduk Khaibar
sebagai penggarap dan pemelihara atas bagi hasil. Hal ini dilanjutkan oleh Abu
Bakar, Umar, Ali serta keluarga-keluarga mereka sampai hari ini dengan rasio .
Semua telah dilakukan oleh Khulafa ar-Rasyidin pada zaman pemerintahannya dan
semua pihak telah mengetahuinya, tetapi tak ada seorangpun yang menyanggahnya.
Berarti, ini adalah suatu ijma’ sukuti (consensus) dari umat.”
d. Habis waktu Musaqah
Menurut
ulama Hanafiyah, musaqah dianggap selesai apabila:
1)
Habis waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang akad
2)
Meninggalnya salah seorang yang akad
3)
Membatalkan, baik dengan ucapan jelas atau adanya uzur.
Dalam udzur disini para ulama berbeda pendapat tentang
apakah akad al-musaqah itu dapat
diwarisi atau tidak.
Dalam perbedaan
ini ada beberapa pendapat ulama’ diantaranya :
a) Ulama Malikiyah : bahwa al-musaqah adalah
akad yang boleh diwarisi, jika salahsatunya meninggal dunia dan tidak boleh dibatalkan
hanya karena ada udzur dari pihakpetani.
b) Ulama
Syafi’iyah : bahwa akad
al-musaqah tidak boleh dibatalkan meskipun adaudzur, dan apabila petani
penggarap mempunyai halangan, maka wajib petanipenggarap itu menunjuk salah
seorang untuk melanjutkan pekerjaan itu.
c) Ulama Hanabilah : bahwa akad al-musaqah sama
dengan akadal-muzara’ah, yaitu akad yangtidak mengikat bagi kedua belah pihak.
Maka dari itu masing-masing pihak bolehmembatalkan akad itu.
d) Jika pembatalan itu dilakukan setelah pohon
berbuah, dan buahitu dibagi dua antara pemilik dan penggarap sesuai dengan
kesepakatan yang telah ada.
Perbedaan
AMusaqah Dengan Muzar’ah
Ulama
Hanafiyah menyatakan bahwa ada perbedaan antara musaqah dengan muzara’ah. Perbedaan
yang dimaksud antara lain adalah:
1)
Jika salah satu pihak dalam akad musaqah tidak mau melaksanakan
hal-halyang telah disetujui dalam akad, maka yang bersangkutan boleh dipaksa
untuk melaksanakan kesepakatan itu. Berbeda dengan akad muzar’ah, bahwa jika pemilik
benih tidak mau kerjasama dalam
menuaikan benih maka ia tidakboleh dipaksa
2)
Menurut jumhur ulama, akad musaqah itu bersifat mengikat kedua belah
pihak. Beda dengan muzar’ah yang sifatnya baru mengikat jika benih sudah
disemaikan, apabila benih belum disemaikan, maka pemilik bolehsaja untuk
membatalkan perjanjian itu. Berbeda dengan pendapat Hanabilah yang mengatakan
bahwa akad musaqah dan muzara’ah itu merupakan akad yang tidak mengikat kedua
belah pihak, oleh karena itu boleh saja salah satu pihak yang melakukan akad
membatalkan.
3)
Menurut Hanafiyah penentuan waktu dalam musaqah itu bukanlah
salah satu syarat, penentuan lamanya akad itu berlangsung disesuaikan dengan
adat kebiasaan setempat. Sedangkan dalam akad muzar’ah itu dalam penentuan
waktu, ada dua pendapat. Menurut Hanafi ; pertama disyaratkannya tenggang waktu,
dan kedua tidak disyaratkan
4) Apabila tenggang waktu yang disetujui
dalam akad musaqah berakhir, akad dapat terus dilanjutkan tanpa ada imbalan
terhadap petani penggarap. Sedangkan dalam akad muzar’ah bila tenggang waktu
telah habis dan tanaman belum juga berbuah (dipanen), maka petani penggarap
melanjutkan pekerjaannya dengan syarat ia berhak menerima upah dari hasil bumi
yang akan dipetik.
BAB
III
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan
diatas dapat disimpulkan bahwa Muzara’ah adalah perjanjian kerjasama antara
pemilik lahan pertanian dengan petani penggarap, yang upahnya diambil dari
hasil pertanian yang sedang diusahakan. Sedangkan mukhabarah adalah suatu
perjanjian yang dilakukan antara pemilik tanah garapan dan penggarap untuk
mengolah dan menanami lahan garapan yang belum ditanami (tanah kosong) dengan
ketentuan mereka secara bersama sama memiliki hasil dari tanah tersebut sesuai
dengan kesepakatan yang dibuat bersama. Dan musaqah adalah kerjasama antara
pemilik kebun (tanah) dengan petani penggarap, yang hasilnya dibagi berdasarkan
perjanjian.
B.
Saran
Kita sebagai manusia biasa tidak akan bisa hidup tanpa bantuan orang lain,
dan jangan mempunyai anggapan bahwa kita tidak akan pernah membutuhkan bantuan
orang lain. Oleh karena itu marilah kita
sama-sama, bahu-membahu dengan saling membantu
antar sesama dalam menghadapi kehidupan ini.
Daftar
Pustaka
Hadi, Syaiful. 2006. Pendidikan Agama Islam.
Surakarta : CV Hayati.
Muslich. Ahmad wari. Fiqih Mu’amalah
(Jakarta: amzah,2010), hal.391
Hendi suhendi. Fiqih muamalah
(Jakarta:RajaGrafindo Persada), hal 145
Hendi. Fiqih. Hal:146
Dalam kamus kalimat qatsha’ah itu adalah
pohonnya semacam pohon labu dan buahnya,seperti ketimun.
Hendi. Fiqih.. hal. 28.
Ibid. hal. 31
Syeikh Syihab al-Din wa Syaikh Qolyubi
Qolyubi wa Umairoh, hal. 61-62.
Hendi Suhendi, Pengantar Fiqh Muamalah, Bulan
Bintang, Jakarta, hal. 91.
Ibnu Rusyd. Bidayatul Mujtahid terjemahan,
(Jakarta, Pustaka Azzam,2007)hal: 483
Hendi. Fiqih.. hal. 28.
M. syafi’I Antonio. Bank Syariah dari Teori
ke Praktik.(Jakarta:Gema Insani, 2001), hal.99
Antonio. Syariah. Hal,
100http://warungekonomiislam.blogspot.com/2012/11/musaqah-muzaroah-mukhabarah.html
Anonim, www.Google.co.id/ musaqah (diakses
taanggal 18 Aprill 2009).
Magnet Cyber Café. Tasikmalaya.
Anonim, www.Google.co.id/ muzaraah (diakses
taanggal 18 Aprill 2009).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar